Saturday, September 13, 2008

Warung "Pak Nggih"

angkringan jogjaKalo kita mau belajar bersahaja dan sederhana mungkin dimana pun berada kita bisa memetik hikmah tersebut. Dan aku tidak lupa belajar dari kota Jogjakarta ini. Dan salah satunya belajar dari Pak Nggih. Aku dan Suamiku ketika malam tiba entah sebulan beberapa kali pasti menyempatkan diri untuk bertandang ke warung sederhananya Pak ‘Nggih”. Warung yang sangat kecil, tanpa nama, dengan gerobak kemudian kursi untuk pembeli mengelilingi gerobak. Atapnya menggunakan terpal coklat. Kami berdua selalu rindu kesana, apalagi ketika sudah malam saat aktivitas kami dengan laptop masih belum kunjung usai dan perut terasa lapar atau butuh minuman yang hangat-hangat. Waah, ide ke tempat Pak Nggih terasa spontan menghampiri benak kami.

Mesti menunggu jam 09.00 malam untuk menikmati sari delei jahe dan sari delei tapenya serta nasi kucing (read; nasi sebanyak segenggam) dengan lauk pauk sederhana di sediakan di piring dalam jumlah yang sedikit kira2 selusin. Namun kalau sudah habis akan ditambah lagi oleh Pak Nggih. Buka warung ini dari jam 09.00 malam hingga jam 03.00 pagi. Dari waktunya saja sungguh aneh. Terletak di daerah Gamelan (masih komplek keraton).

Kata suami ku, pada awal-awal aku diajak kesana, selalu mengatakan, “De, ini minuman paling enak sak Jogja” begitu promosinya yang berapi-api. Ya, suamiku selalu mengatakan tempat-tempat favorite yag dikunjungi nya adalah pling enak sak Jogja ataupun sak Indonesia!! Hehe. Tempat-tempat favorite suamiku bukan restoran megah atau tempat makan yang penuh dengan sajian yang menarik, namun tempat makan yang kecil-kecil, atau angkringan di pinggir jalan atau dengan tampilan sederhana khas jawa. Padahal kalau dia mau, makan khas modern dan mahal dia bisa, cuma takut kolesterol, hehehe. Dan juga karena tidak biasa makan dengan harga mahal, maka kalo kami jalan-jalan perginya ya ke tempat makan yang biasa-biasa saja namun rasanya uenaak tenan. Hehe. Apalagi di Jogja, makannya rata-rata model lesehan.

Pak Nggih adalah panggilan dari kami berdua, hehe. Karena beliau selalu menyebut “Nggih” dengan pelanggannya. Ga banyak omong, Cuma nggih dan jangan harap bisa mengerti omongannya kalo orang luar ke tempat itu tidak membawa orang jogja atau jawa yang bisa bahasa kromo. Karena Pak Nggih menggunakan bahas kromo diatasnya level halus. Sepertinya khas jawa tempo dulu, hihihi. Walau sudah mendapat visitor yang banyak tidak pernah sepi, sudah 42 tahun Pak nggih bertahan dengan model warung yang sedemikian rupa di komplek yang sedikit arus kendaraan. Menambah hikmat saat kita menyeruput minuman Sari Dele Jahe atau Tape.. Hmm ueanaak tenaaan.

Mungkin tanpa disadari, Pak Nggih khusus mneyediakan warung ini sebagai tempat rehat dari kesibukan aktivitas. Dan anehnya pelanggan yang kesana khusyuk sekali dengan menu yang di sajikan. Jarang ada suara ribut atau ketawa-tawa. Semua menyeruput minuman dengan damai. Hehehe.

Pak Nggih kata cerita Suamiku, yang pernah ngobrol-ngobrol dengan pak Nggih, bahwa 4 anak-anak Pak Nggih itu kuliah semua. Ada yang sudah kerja di korea dan selama 42 tahun Pak Nggih yang mewarisi warung ayahnya itu tetap mempertahankan style dari warungnya. Padahal kalau dia mau dia bisa mengembangkan lebih modern lagi menu andalannya yang paling enaaak sak Indonesia. Seolah Pak Nggih mengisyaratkan bahwa dunia ini tidak perlu dibuat ribet terima apa adanya dan tak lupa usaha. Dengan kelapangan hati tidak mengejar dunia, maka kita akan mendapat kedamaian. Kalaupun ada harta manfaatkan dengan maksimal buat yang membutuhkan. Ya, aku dan suami saat malam selalu rindu kesana, walau hanya sunyi dan kesederhanaan yang kami dapat. Oiya, nama asli Pak Nggih adalah Pak Jo.

1 comment :

  1. Ihh kak sil, jadi luaaperr, he he he, puasa puasa...suka ganti2 nama orang nih, ...Pak Jo ke Pak Nggih...(*)

    ReplyDelete

Copyright © 2014 Senang di Rumah